Artikel Terbaru

Wednesday, March 7, 2012

Syeh Abdul Qodir Al Jailani

Syeh Abdul Qodir Al Jailani adalah ulama dan sufi besar yang lahir pada 470 H di Jilan dekat Bagdad,Iraq. Nasab Beliau masih ada trah Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yakni: Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi WassalamaKarena luas ilmu dan zuhudnya Syeh Abdul Qodir Al Jailani, maka beliau begitu terkenal hingga sekarang. Dalam hal fiqh beliau bermadzhab Hambali, (diikuti oleh para penganut tarikatnya di indonesia yang bermadzhab syafi'i), beraqidah ahli sunnah (bukan syi'ah). ajaran tasawufnya kelak dipopulerkan dengan nama qodiriyah (disandarkan pada namaNya).

Bukti keulamaan Syeh Abdul Qodir Al Jailani adalah banyak kitab yang ditulisnya seperti kitab-kitab:
  1. Tafsir Al Jilani
  2. Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  3. Futuhul Ghaib.
  4. Al-Fath ar-Rabbani
  5. Jala' al-Khawathir
  6. Sirr al-Asrar
  7. Asror Al Asror
  8. Malfuzhat
  9. Khamsata "Asyara Maktuban
  10. Ar Rasael
  11. Ad Diwaan
  12. Sholawat wal Aurod
  13. Yawaqitul Hikam
  14. Jalaa al khotir
  15. Amrul muhkam
  16. Usul as Sabaa
  17. Mukhtasar ulumuddin

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib sesama) dan ghaffar (pemaaf kepada kesalahan orang lain).
2. Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu tegas dalam amar ma'ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan suka bangun malam (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cinta ilmu, kritis, cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam suatu bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh (guru) maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
  1. Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir,
  2. Mencari ilmu hakikah/ma'rifat langsung dari sumbernya yang jernih (Al-Qur'an dan sunnah rosul yang sohih),
  3. Hormat dan ramah kepada tamu,
  4. Lemah lembut kepada si miskin,
  5. Mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Sayang sekali sejarah hidup beliau yang pekerja keras dan haus ilmu pengetahuan banyak dinodai dengan kisah2 dusta yang berlebih-lebihan yang sering tidak masuk akal, bak tokoh dongeng dalam pewayangan atau legenda seperti dalam kitab manaqib tentang beliau. Bahkan semangat hidup beliau yang tanpa lelah mencari ilmu tidak diwarisi oleh orang2 yang mengaku penganut tarikatnya yang fanatik, tapi sesuatu yang hanya diaku-akukan saja pada beliau diikuti secara membuta.

Maklum setelah hayat Syeh Abdul Qodir Al Jailani dunia Islam tenggelam dalam kemunduran hampir di segala bidang (ilmu sains tidak berkembang, dalam agama tidak muncul ulama dan filosof orisinil, secara politik militer terpecah2 dan dijajah bangsa barat, ekonomi tertinggal dan budaya imitatif dan mistik). Dan Islam datang ke Indonesia pada suasana era itu yang mana mistik dan mitos mendominasi alam pikiran umat Islam, hingga akhirnya datang masa pencerahan abad 19 M oleh para pencerah pemahaman dan pemikiran Islam seperti Syeh Muhammad Abduh, Syeh Jamaludin al-Afghani, Syeh Waliyulloh dan Dr. Muhammad Iqbal dan membawa angin segar bagi kemajuan berpikir umat Islam di Indonesia.

Maka bertoriqah qodiriyah lebih afdhol kalau dengan meniru spirit berilmu dan zuhud Syeh Abdul Qodir Al Jailani dari ketamakan pada harta dunia yang haram. Ambil api ajarannya, bukan asapnya. Ambil air jernihnya, bukan limbah yang mengeruhinya. Itu cara mengagungkan ulama yang sejati. Kebanyakan pada terbalik, hanya ambil asapnya, bukan apinya. diambil limbahnya, bukan ajaran/air jernihnya, shg umat tidak akan tercerahkan seperti beliau. Termasuk bermadzhab pada ulama-ulama yang lain juga begitulah seharusnya.

Penulis: Dr. Saadi, M. Ag, Dosen STAIN Salatiga